Berpuasa tapi
Meninggalkan Sholat, Bagaimana Keadaan Puasanya?
Barangsiapa berpuasa tapi meninggalkan shalat, berarti ia meninggalkan rukun terpenting dari rukun-rukun Islam setelah tauhid. Puasanya sama sekali tidak bermanfaat baginya, selama ia meninggalkan shalat. Sebab shalat adalah tiang agama, di atasnyalah agama tegak. Dan orang yang meninggalkan shalat hukumnya adalah kafir. Orang kafir tidak diterima amalnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat,
barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad dan Para penulis
kitab Sunan dari hadits Buraidah) At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih,
Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menshahihkannya.
Jabir meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:“(Batas) antara seseorang
dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Abu Daud,
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Tentang keputusan-Nya terhadap orang-orang kafir, Allah SWT berfirman: “Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqaan: 23).
Berbagai amal kebajikan yang mereka lakukan dengan tidak karena Allah SWT,
niscaya Kami hapus pahalanya, bahkan Kami menjadikannya sebagai debu yang
beterbangan. Demikian halnya dengan meninggalkan shalat 5 Waktu atau
mengakhirkan shalat dari waktunya. Perbuatan tersebut merupakan maksiat dan
dikenai ancaman yang keras. Allah SWT berfirman:”Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
(Al-Maa’un: 4-5).
Mereka lalai dari shalat sehingga waktunya berlalu. Kalau Nabi SAW tidak
mengizinkan shalat di rumah kepada orang buta yang tidak mendapatkan orang yang
menuntunnya ke masjid, bagaimana pula dengan orang yang pandangannya tajam dan
sehat yang tidak memiliki udzur?
Berpuasa tetapi dengan meninggalkan shalat atau tidak berjamaah merupakan
pertanda yang jelas bahwa ia tidak berpuasa karena mentaati perintah Tuhannya.
Jika tidak demikian, kenapa ia meninggalkan kewajiban yang utama (shalat)?
Padahal kewajiban-kewajiban itu merupakan satu rangkaian utuh yang tidak terpisah-pisah,
bagian yang satu menguatkan bagian yang lain.
Baca Juga:
Bagaimanakah Keadaan Puasa Orang yang Lalai Sholat Subuh? Sholat 5 Waktu?
Terkait dengan hukum meninggalkan sholat subuh telah kami singgung di
bagian awal tulisan ini, bahwa pelakunya termasuk dari golongan orang kafir
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) Karena kekafiran
maka puasa orang tersebut menjadi tidak sah (baca: pengertian kafir)
Puasa orang yang ketiduran saat sholat
subuh sedang berlangsung?
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا
فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka kafaroh (tebusannya)
adalah dia shalat ketika dia ingat.” (Muttafaqun’ alaih, diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al
Albani)
Menurut hadis ini, bagi orang yang tertidur dan meninggalkan sholat dengan
tidak sengaja maka untuk menebus dosanya, ia harus sholat saat terbangun
(ingat). Hal ini juga berlaku bagi orang yang lupa dan tidak mendengarkan
Adzan.
Perhatian: Karena ada hadis yang menyebutkan adanya pemaafan bagi orang
yang tidak sengaja meninggalkan sholat dengan cara menebusnya (menurut kami
berdampak pada pahala akan berkurang) maka hadis ini tidak dapat dijadikan
patokan untuk lalai dalam menjalankan sholat 5 waktu.
Misalnya waktu subuh hanya beberapa menit atau sejam maka tidak dibenarkan jika
ia tidur menjelang sholat subuh (berlaku juga bagi sholat lain, Dzuhur, Ashar,
Magrib dan Isya’).
Meskipun waktu sholat menyisakan beberapa jam menjelang sholat (2, 3 hingga
beberapa Jam) Namun dikhawatirkan tidak bangun saat sholat akan didirikan, maka
tidak dibenarkan pula tidur dengan cara demikian.
Hukum Puasa bagi Orang yang Tidak Sholat
Tarawih Berjamaah?
Untuk penjelasan tentang Kemuliaan dan Perbedaan Pendapat terkait dengan
sholat tarawih, dapat Anda baca pada artikel kami Permasalahan Seputar Sholat
Tarawih. Terkait dengan permasalah ini, Akan kami Jelaskan secara ringkas di
bawah ini.
Hukum sholat tarawih adalah sunnah, seperti halnya dengan sholat sunnah
lainnya. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi SAW dimana Sholat Tarawih hanya
dilangsungkan selama 3 hari. Sebagaimana hadis yang dikeluarkan oleh An-Nasai
dan Ibnu Majah: Abu Dzar menceritakan,
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْهُ، حَتَّى بَقِيَ
سَبْعُ لَيَالٍ، فَقَامَ بِنَا لَيْلَةَ السَّابِعَةِ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ
ثُلُثِ اللَّيْلِ، ثُمَّ كَانَتِ اللَّيْلَةُ السَّادِسَةُ الَّتِي تَلِيهَا،
فَلَمْ يَقُمْهَا، حَتَّى كَانَتِ الْخَامِسَةُ الَّتِي تَلِيهَا، ثُمَّ قَامَ
بِنَا حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ. فَقَالَ: «إِنَّهُ مَنْ قَامَ
مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ» ثُمَّ
كَانَتِ الرَّابِعَةُ الَّتِي تَلِيهَا، فَلَمْ يَقُمْهَا، حَتَّى كَانَتِ
الثَّالِثَةُ الَّتِي تَلِيهَا، قَالَ: فَجَمَعَ نِسَاءَهُ وَأَهْلَهُ وَاجْتَمَعَ
النَّاسُ، قَالَ: فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ،
قَالَ: ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ بَقِيَّةِ الشَّهْرِ
Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan
ramadhan. Beliau tidak pernah mengimami shalat malam sama sekali, hingga
ramadhan tinggal 7 hari. Pada H-7 beliau mengimami kami shalat malam, hingga
berlalu sepertiga malam. Kemudian pada H-6, beliau tidak mengimami kami. Hingga
pada malam H-5, beliau mengimami kami shalat malam hingga berlalu setengah
malam. Kamipun meminta beliau, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita tambah
shalat tarawih hingga akhir malam?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang
shalat tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala
shalat tahajud semalam suntuk.’ Kemudian H-4, beliau tidak mengimami jamaah
tarawih, hingga H-3, beliau kumpulkan semua istrinya dan para sahabat. Kemudian
beliau mengimami kami hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak
mendapatkan sahur. Selanjutnya, beliau tidak lagi mengimami kami hingga
ramadhan berakhir. (HR. Nasai 1605, Ibn Majah 1327 dan dishahihkan Al-Albani).
Kesimpulan: Puasa tetap sah meskipun tidak sholat tarawih.
Catatan Penting Bagi Orang yang yang
sedang menalankan Ibdah Puasa
1. Setiap muslim wajib berpuasa karena iman dan mengharap pahala Allah, tidak
karena riya’ (agar dilihat orang), sum’ah (agar didengar orang), ikut-ikutan
orang, toleransi kepada keluarga atau masyarakat tempat ia tinggal. Jadi, yang
memotivasi dan mendorongnya berpuasa hendaklah karena imannya bahwa Allah SWT
mewajibkan puasa tersebut atasnya, serta karena mengharapkan pahala di sisi
Allah SWT dengan puasanya.
Demikian pula halnya dengan Qiyam Ramadhan (shaiat malam/tarawih), ia wajib
menjalankannya karena iman dan mengharap pahala Allah, tidak karena sebab lain.
Karena itu Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah,
niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, barangsiapa melakukan shalat
malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah SWT, niscaya
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan barangsiapa melakukan shalat pada
malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘Alaih).
2. Secara tidak sengaja, kadang-kadang orang yang berpuasa terluka, mimisan
(keluar darah dari hidung), muntah, kemasukan air atau bersin di luar
kehendaknya. Hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa. Tetapi orang yang
sengaja muntah maka puasanya batal, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Barangsiapa muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha’ atasnya, (tetapi)
barangsiapa sengaja muntah maka ia wajib mengqadha’ puasanya.” (HR. Imam Lima
kecuali An-Nasa’i) (Al Arna’uth dalam Jaami’ul Ushuul, 6/29 berkata : “Hadits
ini shahih”).
3. Orang yang berpuasa boleh meniatkan puasanya dalam keadaan junub (hadats
besar), kemudian mandi setelah terbitnya fajar. Demikian pula halnya dengan
wanita haid, atau nifas, bila sudi sebelum fajar maka ia wajib berpuasa. Dan
tidak mengapa ia mengakhirkan mandi hingga setelah terbit fajar, tetapi ia
tidak boleh mengakhirkan mandinya hingga terbit matahari. Sebab ia wajib mandi dan
shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, karena waktu Shubuh berakhir dengan
terbitnya matahari.
Demikian pula halnya dengan orang junub, ia tidak boleh mengakhirkan mandi
hingga terbitnya matahari. Ia wajib mandi dan shalat Shubuh sebelum terbit
matahari. Bagi laki-laki wajib segera mandi, sehingga ia bisa mendapatkan
shalat jamaah.
4. Di antara hal-hal yang tidak membatalkan puasa adalah: pemeriksaan
darah, (Misalnya dengan mengeluarkan sample (contoh) darah dari salah satu
anggota tubuh) suntik yang tidak dimaksudkan untuk memasukkan makanan. Tetapi
jika memungkinkan- melakukan hal-hal tersebut pada malam hari adalah lebih baik
dan selamat, sebab Rasulullah SAW bersabda: “Tinggalkan apa yang membuatmu
ragu, kerjakan apa yang tidak membuatmu ragu.” (HR. An-Nasa’i dan At-Tirmidzi,
ia berkata: hadits hasan shahih)
Dan beliau juga bersabda : “Barangsiapa menjaga (dirinya) dari berbagai
syubhat maka sungguh dia telah berusaha menyucikan agama dan kehormatannya.”
(Muttafaq ‘Alaih)
Adapun suntikan untuk memasukkan zat makanan maka tidak boleh dilakukan,
sebab hal itu termasuk kategori makan dan minum. (Lihat kitab Risaalatush
Shiyaam, oleh Syaikh Abdul Azis bin Baz, hlm. 21-22)
5. Orang yang puasa boleh bersiwak pada pagi atau sore hari. Perbuatan itu
sunnah, sebagaimana halnya bagi mereka yang tidak dalam keadaaan puasa.XI IPA 4
https://forms.gle/jurzFAMJNPdm7fcRA