DATA SISWA YANG RESPON

Selasa, 21 April 2020

XI BAHASA, IPS4, IPS3,IPS2

 Petualangan Bocah di Zaman Jepang

Judul Novel   : Saksi Mata
Pengarang  : Suparto Brata
Penerbit  : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal   : x + 434 halaman


Setelah  membaca  novel  yang  sangat tebal  ini,  saya  jadi  teringat  dengan  novel Mencoba  Tidak  Menyerah-nya  Yudhistira A.N.  Massardhie  dan  juga  novel Ca  Bau Kan-nya  Remy  Sylado.  Dalam  novel Mencoba  Tidak  Menyerah,  yang  menjadi
tokoh  sentralnya  adalah  bocah  laki-laki berusia  sepuluh  tahun,  sedangkan  dalam novel Ca  Bau  Kan yang  telah  diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta, kota era zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Matakarya Suparto Brata ini?
        Dalam Saksi  Mata,  yang  menjadi  “jagoan”  alias  tokoh  utamanya adalah bocah berusia duabelas tahun bernama Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat  Mohan-gakko  dan  mengambil  latar  Kota  Surabaya  pada zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail
dan  sangat  memikat.  Novel  setebal  434  halaman  ini  sendiri  sebenarnya merupakan  cerita  bersambung  yang  dimuat  di  Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 hingga 2 April 1998.
       Kisah berawal saat Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah berduaan dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan baru diketahui oleh Kuntara kalau Wiradad adalah suami sah dari Bulik Rum. Hal itu membuat perasaan
hatinya berkecamuk. Kuntara pun heran dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti kalau ternyata Bulik Rum yang cantik ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.
      Bulik  Rum  adalah  “pegawai”  tuan  Ichiro  Nishizumi,  meski  pekerjaan sehari-harinya  bekerja  di  pabrik  karung  Asko.  Sebenarnya  Bulik  Rum sudah  menikah  dengan  Wiradad  tetapi  tuan  Ichiro  Nishizumi  tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak mampu mencegah keinginan Ichiro Nishizawa  yang  sangat  berkuasa  ini.  Akan  tetapi,  Wiradad  tidak  mau menyerah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.
        Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Okada yang gelap mata ini segera mengambil samurai kecilnya  hingga  akhirnya  Bulik  Rum  menghembuskan  nafas  terakhir di  bungker  perlindungan.  Okada  yang  selama  ini  sangat  dihormati  oleh Kuntara tenyata memiliki tabiat tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa.
       Dari  sinilah  awal  kisah  “petualangan”  Kuntara  dalam  mengungkap kasus  hilangnya  Bulik  Rum  hingga  upaya  untuk  membalas  dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada. Sejak  kasus  hilangnya  Bulik  Rum  ini,  keluarga  Suryohartanan–tempat Kuntara  dan  ibunya  menetap–mulai  terlibat  dengan  berbagai  kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya. Dengan  segala  “kecerdikan”  ala  detektif  cilik Lima  Sekawan Kuntara berupaya menyelesaikan kasus ini bersama dengan Wiradad.
***
       Sangat  jarang  sekali  novel-novel  “serius”  di  Indonesia  yang  terbit dalam  kurun  waktu  beberapa  tahun  terakhir  yang  menggunakan  tokoh utama  seorang  anak  kecil,  selain  dari  novel Mencoba  Tidak  Menyerahnya  Yudhistira  ANM,  mungkin  hanya  novel Ketika  Lampu  Berwarna
Merahkarya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca cerita sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil  karena  ia  memiliki  perspektif  atau  pandangan  berbeda  mengenai dunia  dan  segala  sesuatu  yang  terjadi,  bila  dibandingkan  dengan  orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang baru berusia dua belas tahun menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi dengan diri,  keluarga,  dan  lingkungan  sekitarnya  pada  masa  penjajahan  Jepang dan  dengan  “kepintarannya”  ia  mencoba  untuk  memecahkan  persoalan tersebut.  Meski  menarik  tetap  saja  akan  memunculkan  pertanyaan
bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?
       Keunggulan lain dari novel ini adalah penggambaran suasana yang detail mengenai Kota Surabaya pada tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau”
Hindia Belanda karena nama-nama jalannya masih menggunakan namanama  Belanda.  Juga  tentang  bungker-bungker–perlindungan  yang digunakan  untuk  bersembunyi  kala  ada  serangan  udara–kebetulan  saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga tentang
stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.
      Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini,  Suparto  Brata  jelas  tidak  mengalami  kesulitan  untuk  melukiskan keadaan  ini.  Apalagi  ia  adalah  penulis  yang  hidup  dalam  tiga  zaman, kolonialisme  Belanda,  pendudukan  Jepang  dan  era  kemerdekaan.
Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada cerita yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele.
      Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang  makin  menghidupkan  suasana  zaman  pendudukan  balatentara Jepang di Indonesia. Namun, uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata  Jepang  tersebut.  Jadi,  bagi  yang  tidak  mengerti  bahasa  Jepang, seperti saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.
(Sumber: Dodiek Adyttya Dwiwa dalam Cybersastra.net dengan perubahan
⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀



Teks  seperti  itulah  yang  disebut  dengan  resensi.  Di  dalamnya  tersaji informasi tentang tanggapan atau komentar mendalam tentang kelebihan dan kelemahan suatu karya. Dalam contoh di atas, objek yang ditanggapi berupa novel. Selain itu, objeknya dapat berupa buku ilmu pengetahuan,flm,  pementasan  drama,  album  lagu,  lukisan,  teks.  Sebagaimana  yang tampak  pada  contoh  di  atas  bahwa  di  dalam  teks  yang  berupa  resensi mencakup informasi identitas karya, ringkasan, serta ulasan kelebihan dan kelemahan isi karya itu. Di samping itu, dapat pula disajikan rekomendasi penulis resensi itu untuk pembacanya.
Tugas
1.  a.  Bacalah kembali contoh teks resensi di atas dengan baik!
     b. Identifkasilah resensi tersebut berdasarkan  aspek-aspek berikut!
         1)  identitas buku,
         2)  ringkasan isi buku,
         3)  keunggulan buku,
         4)  kelemahan buku, dan
         5)  rekomendasi.
    c.  Selain aspek-aspek tersebut, adakah aspek lain yang dibahas dalam resensi tersebut? Jelaskan!

XI BAHASA
https://forms.gle/Ggh3kbPj6DPkNoCs9

XI IPS 4
https://forms.gle/GBdABWFUxECoREdU8

XI IPS 3
https://forms.gle/cDp4mm4TVfhVPYUU9

XI IPS 2
https://forms.gle/gVMvBX8yR29SnVQv7

PHB BAHASA INDONESIA X dan XI

  PHB BAHASA INDONESIA X https://forms.gle/3c4mk86SdT2sLxBL6 PHB BAHASA INDONESIA XI https://forms.gle/xfrqHEsjNDRi9toL9